Rss Feed

Kasus Psikologi dan Gizi


1.      MALNUTRISI
Study kasus :
Sebut saja namanya Randy. Usianya baru dua tahun, tapi wajahnya tak memancarkan kesegaran seorang anak-anak. Bahkan kesan tua justru terpancar dari wajah Randy yang kuyu. Tak hanya itu, berat badannya juga jauh lebih ringan ketimbang bobot bocah-bocah sebayanya.
Menurut Mulyadi Tedjapranata, dokter dari Klinik Medizone di Kemayoran Jakarta Pusat, anak dengan tanda-tanda seperti Randy mengidap kekurangan gizi (malnutrisi). Di Indonesia, jumlah anak senasib Randy cukup banyak. Catatan Departemen Kesehatan menyebutkan, pada 2008 setidaknya 18 juta anak berusia kurang dari lima tahun (balita) kekurangan gizi.
Nah, dari angka itu sebanyak 5 juta anak kekurangan gizi dan 1,7 juta balita terancam gizi buruk. Data yang sama juga menyebutkan bahwa 10 juta dari 31 juta anak-anak usia sekolah menderita' anemia.
Sumber : www.kompas.com
Penyebab :
Banyak hal yang bisa menyebabkan anak-anak mengalami kekurangan gizi, terutama di Indonesia. Salah satu faktor yang paling sering kita dengar yaitu akibat dari kondisi ekonomi. Dari segi kesehatan, balita yang mengalami kekurangan gizi biasanya disebabkan karena ASI yang diberikan oleh ibu kepada anaknya pada saat masih bayi dan asupan gizi pada awal pertmbuhan si bayi. Padahal asupan yang terbaik bagi bayi pada masa pertumbuhannya adalah ASI.
Selain itu, kekurangan gizi juga bisa disebabkan gangguan pencernaan pada anak, sehingga asupan gizi yang masuk ke tubuh tidak menyebar sempurna. Akibatnya, anak kurang karbohidrat, protein, dan lemak.
Malnutrisi memang rawan terjadi pada anak-anak di bawah umur lima tahun, sehingga efek kekurangan nutrisi akan berdampak ganda. Dalam jangka pendek, berat badan dan tubuh balita tak mengembang normal. Ini bisa berujung pada kematian. Dampak jangka panjang, malnutrisi bisa mempengaruhi perkembangan otak. Selain itu, anak yang kurang nutrisi juga rentan terhadap berbagai penyakit saat menginjak usia remaja atau dewasa.
Penderita Malnutrisi juga akan mengalami masalah dengan lingkungan sosialnya. Anak penderita malnutrisi bisa saja dikucilkan oleh teman-teman sebayanya, sehingga dia akan mengalami krisis percaya diri dan tidak memiliki semangat lagi untuk menjalani hari-harinya.
Penyelesaian Masalah :
Masalah Malutrisi dapat diatasi dengan memberikan protein nabati untuk dikonsumsi. Kasus malnutrisi memang tak lepas dari tingkat kesejahteraan keluarga di sebuah negara. Umumnya, kasus ini meruak di negara-negara berkembang. Di India, misalnya, ada 8,3 juta bayi lahir dengan berat kurang dari 2,5 kilogram.
Sebuah penelitian oleh Lembaga Penelitian Kesehatan di London menyebutkan, pemberian nutrisi mesti dilakukan sedini mungkin. Dalam jangka panjang, keterlambatan pemberian nutrisi akan berbahaya bagi kesehatan anak.
Menurut Alan Lucas, Direktur Pusat Penelitian Gizi Anak yang memimpin penelitian itu, observasi pada 26 anak dan remaja menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kesehatan anak yang mendapatkan gizi lebih awal dengan yang belakangan. Saat remaja, anak-anak yang terlambat mendapat asupan gizi akan mengalami peningkatan tekanan darah dan kadar kolesterol yang lebih tinggi. Ini jelas berbeda dengan anak-anak yang sedari awal sudah mendapatkannya.
Sejatinya malnutrisi bisa dikurangi sedini mungkin. Orang tua tak harus ribet untuk memenuhi kebutuhan gizi buah hatinya. Jika tak bisa membeli daging sebagai sumber protein, mereka bisa memberikan protein nabati yang berasal dari kacang kedelai. Peran orang tua dalam masalah ini sangat penting. Selain berperan penting dalam memenuhi kebutuhan protein dalam tubuh anaknya, dia juga sebagai pemberi semangat dan motivator untuk sang anak dalam rangka meningkatkan semangat dan kepercayaan diri sang anak.

2.      ACORAPHOBIA (Takut pada Ketinggian)
Studi kasus :
Alkisah, ada seorang pria yang telah berumah tangga yang selalu takut akan tempat-tempat yang tinggi. Ia menderita acoraphobia. Ia juga mengeluh karena kepala pusing-pusing dan mual. Dalam pemeriksaan fisik tak ditemukan sesuatu pun yang dianggap sebagai penyebab dari gejala-gejala itu.


Ditelusurilah riwayat pria itu…
Pada suatu hari anak gadisnya mengandung diluar nikah. Ia merasa sangat perlu untuk segera menyelamatkan nama baiknya dengan mengirim anak gadisnya itu kerumah neneknya yang tinggal jauh dipelosok desa dan peristiwa tersebut sangat dirahasiakan. Anak gadisnya kemudian pulang ke rumah dan keluarga itu hidup tenang seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu. Meski dirahasiakan, enam bulan kemudian ternyata beberapa tetangganya ada yang tahu bahwa anak gadisnya pernah hamil diluar nikah.
Tidak lama kemudian ayah itu mulai memperlihatkan gejala-gejala phobianya, takut pada tempat-tempat yang tinggi; acoraphobia. Ia takut menengok keluar jendela walau kantornya terletak dilantai enam. Meskipun ia berusaha menyangkal dan menghilangkan pikiran-pikiran buruknya tentang tempat-tempat tinggi, tetapi kemudian terbukti ia mencoba bunuh diri dengan melompat dari tempat tinggi untuk mengakhiri beban nama baiknya.
Penyebab :
Acoraphobia yang diderita oleh pria ini kemungkinan disebabkan seringnya dia bersembunyi atau mengasingkan dirinya dari dunia luar. Pria ini terlalu memikirkan nama baik keluarganya. Sebagai kepala keluarga, ia memang seharusnya bertanggung jawab atas nama baik keluarganya.
Ketidakberhasilannya dalam mendidik anaknya, menyebabkan dia harus berusaha menutupi masalah “hamil di luar nikah” yang dialami oleh anaknya dengan mengasingkannya. Dia tidak ingin orang lain menyebutnya sebagai orang tua yang gagal dalam mendidik sang anak.
Ketidaksiapan mental yang dimiliki oleh pria ini kemungkinan disebabkan karena ia selalu berhasil dalam setiap usahanya. Sehingga tidak pernah terpikirkan olehnya mengenai masalah-masalah yang dapat menjatuhkan mentalnya. Sehingga penyakit acoraphobia yang dideritanya dijadikan alat baginya untuk bunuh diri.

Penyelesaian Masalah :
Bunuh diri yang diambil oleh pria ini sebagai langkah untuk menyelesaikan masalahnya seharusnya tidak dilakukannya. Toh dengan bunuh diri nama baik keluarganya juga tidak akan pulih.
Padahal penyakit acoraphobia yang dideritanya itu kemungkinan bisa dihilangkan dengan bantuan psikolog atau psikiater. Sayang sekali dia lebih memilih untuk menghilangkan nyawanya sendiri mendahului kehendak Tuhan.

3.      HOMOSEKSUALITAS


Studi Kasus:
S. berusia 24 tahun, seorang mahasiswa teknik Sipil di salah satu perguruan tinggi di Bandung, mengeluh bahwa dirinya merasa kurang dapat konsentrasi dalam belajar, gairah belajar menurun, sehingga dua semester terakhir ini, ia merasa gagal dalam ujian-ujiannya. S merasa penuh dengan keraguan dan tanda tanya yang selalu mencekam dirinya, yaitu “Apakah dirinya seorang homoseksual?”
S, berkulit sawo matang. Kesan fisik tinggi besar (tinggi ± 1 ,68 m, berat ± 78 kg), tetapi mimik muka serta gerak gerik halus dan hati-hati. Cara bicaranya sopan. S adalah anak ketiga dari empat bersaudara, dengan urutan kakak laki-laki (2 orang), kemudian S dan adik yang bungsu perempuan. Perbedaan umur antar empat bersaudara itu lebih kurang dua tahun. Sejak S berumur satu tahun, oleh orang tuanya, S dititipkan pada kakek atau neneknya. Setelah umur 6 tahun S kembali pada orang tuanya sendiri.
Kesan yang sangat mendalam pada 5 tahun pertama kehidupannya adalah seringnya kakek dan nenek berselisih paham, dan bila perselisihan paham memuncak, mereka melempar benda yang ada didekatnya atau saling menyiramkan air. Kalau keadaan sudah demikian, S bersembunyi ketakutan dan gemetar seluruh tubuhnya. Setelah pertengkaran, biasanya nenek dan kakek saling tidak tegur sapa.
Dalam keadaan ini, maka nenek biasanya sangat baik terhadap S dan kemana nenek pergi, S harus ikut. Bahkan pada saat nenek memasak dan membersihkan rumah pun S harus berada dekat nenek. Untuk itu, S sering juga membantu nenek.
Setelah S dewasa, S baru sadar bahwa alasan orang tua menitipkan dirinya di rumah nenek atau kakek sebetulnya untuk menurunkan frekuensi pertengkaran nenek atau kakek. Tapi seingat S, pertengkaran antar mereka tidak mereda. Pribadi nenek menurut S keras dan dominan, begitu pula dengan pribadi kakek yang juga sama-sama keras.
Sekembalinya ke rumah orang tuanya pada umur 6 tahun, S merasakan pula kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya dibandingkan dengan sikap orang tua terhadap kedua kakak laki-lakinya. Orang tua S memiliki sebuah toko emas dan keduanya sibuk dengan toko. Anak-anak lebih banyak dilepas tanpa pengawasan yang cukup dan hanya dipercayakan pada pembantu rumah tangga.
Ibu bersikap lebih dominan dibanding ayah dan seringkali Ibu lebih mampu mengambil keputusan dalam urusan dagang. Menurut S, ayahnya agak lamban dalam bertindak dan sering bersikap ragu-ragu. Kedua kakak S sangat nakal dan kasar tingkah lakunya dalam bermain. Sedang S tidak suka pada tingkah laku yang kasar dan nakal, sehingga S lebih suka bermain dengan adik perempuannya. S senang main masak-masakan, main ibu-ibuan dan sering memakai rok adiknya dalam permainan itu.
Pada waktu S kelas V SD, suatu hari S diajak oleh kakak laki-laki yang pertama untuk melakukan onani bersama. Dan seingat S, pernah pula S atas anjuran kakaknya tersebut mencoba melakukan relasi seks dengan adik perempuannya. Percobaan ini dilakukan satu kali dan S merasa tidak berhasil.
Kemudian, pernah kakak pertama ini memaksa S melakukan oral seksual dengan S atau melakukan onani bersama. Hal ini sering terjadi, sampai akhirnya kakak S melanjutkan pelajaran di Jakarta, sedang S melanjutkan sekolah di Semarang. S tinggal di rumah bibinya yang memiliki anak laki-laki sebaya dengan S dan tinggal satu kamar dengan saudara sepupunya itu.
Pada suatu saat, saudara sepupunya itu mencium S sehingga akhirnya berkembang menjadi homoseksual. Dalam relasi ini S lebih sering bersifat pasif. Setelah kira-kira 1 tahun mengadakan relasi itu, saudara sepupunya ini pindah ke kota. Namun, S segera mendapatkan teman pengganti, yaitu teman sekelasnya sendiri. Tetapi, teman ini meninggal dunia karena sakit. S merasa kesepian dan pada saat muncu!nya kebutuhan seksual S melakukan onani. Dalam onani, S kadang-kadang membayangkan wanita atau pria, tetapi menurut S lebih sering membayangkan pria daripada wanita.
Setelah beberapa bulan S tidak mempunyai teman akrab, kemudian S mendapatkan teman pria yang mau mengerti keadaan S dan dapat merasakan penderitaan S. Bahkan sering menasihati S untuk menghentikan tingkah laku homoseksual tersebut dan mengatakan bahwa tingkah laku tersebut kurang baik.
Setelah lulus SMA, S pindah ke Bandung dan bersekolah di Bandung. Rasa takut terhadap abnormalitas semakin meningkat karena S tidak pernah merasa tertarik terhadap wanita. Apalagi pada tahun pertama S berkenalan dengan seorang teman pria satu angkatan lebih tinggi. Dengannyalah S melakukan relasi homoseksual beberapa kali, selama kurang lebih satu tahun. Atas kesadaran partnernya ini, S dinasihati oleh partnernya untuk memutuskan hubungan mereka. S menerima keputusan ini dengan harapan S dapat terlepas dari kebiasaan yang menurut S sendiri abnormal.
Pada suatu ketika, S memaksakan diri untuk mencari pacar dan kebetulan wanita ini memang tertarik pada S dan bersedia menjadi pacarnya. S merasa senang karena ini adalah kesempatan bagi S untuk melepaskan diri dari abnormalitasnya. Tetapi rupanya S tidak tahan terhadap konsekuensi-konsekuensi sebagai pria yang punya pacar, yang antara lain harus ‘apel’ setiap malam minggu, bersedia mengantar pacar pada saat-saat dibutuhkan dan lain-lain.
Tuntutan pacar akan ‘apel’akhirnya menjadi beban bagi dirinya, pacar S sering marah kalau S terlambat ‘apel’. S mulai tidak suka karena S paling takut kalau melihat orang yang marah-marah dan hatinya menjadi tidak enak.
Sejak kecil pun S takut kalau melihat orang bertengkar. Kecuali itu, sejak remaja S suka mencoba resep masakan dari majalah. Ibu mendorongnya untuk lebih menerampilkan diri pada bidang masak-memasak. Atas kesukaannya ini, ayah S hanya berkomentar “Anak laki-laki kok senang masak, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?!” S juga merasa bahwa ia sangat mudah tersinggung, tetapi walaupun tersinggung, S tidak pernah menunjukkan kemarahannya pada orang lain melainkan memendamnya saja. S merasa bahwa tindakan pacarnya pun sering menyinggung perasaannya, sehingga rasa tidak tertarik pada pacarnya ini semakin berkembang dan dalam kenyataannya, S juga tidak pernah mengalami rangsangan erotis kalau duduk berdekatan dengan pacarnya.
Sampai akhirnya, S merasa jenuh dan berat beban mentalnya dalam memenuhi tuntutan-tuntutan pacarnya. Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk memutuskan hubungan dengan pacarnya. Setelah lepas dari pacar, ia merasa ringan.
Di Bandung, S tinggal bersama kakak laki-laki yang nomor dua, yang bersekolah di Fakultas kedokteran. Hubungan dengan kakak nomor dua tidak akrab, kakak ini agak mengacuhkan diri S. Pada permulaan tahun kakaknya pergi ke luar Jawa. Karena merasa kesepian, akhirnya S mengajak temannya untuk menemaninya. Kebetulan teman pria yang diajak adalah bekas partner relasi homoseksual ketika S baru lebih kurang 1 tahun di Bandung.
Situasi rumah yang sepi memungkinkan S mengulangi relasi tersebut, walaupun sebetulnya selama kurang lebih 3 tahun S berhasil menahan diri dalam melakukan relasi homoseksualnya. Kalaupun kebutuhan seksualnya mendesak, S hanya melakukan onani saja. Tetapi kemudian, temannya ini menyadarkan kembali akan kesalahannya dan S pun berusahan untuk menghindari tingkah laku tersebut. Akibatnya, muncullah konflik dalam jiwanya yang lebih ekstrim yang bersumber pada keraguan identitas jenis kelaminnya (gender identity).
Untuk mengatasi konflik ini, S mencoba melakukan hubungan heteroseksual dengan seorang wanita tuna susila, tetapi S tidak berhasil. Kegagalan ini menambah tingkat ekstrenuitas ketegangan mentalnya sehingga sangat mempengaruhi kemampuannya dalam konsentrasi. Ia pun menjadi kehilangan gairah belajar, karena benaknya dipenuhi oleh tanda tanya.
Sumber : digilib.umm.ac.id

Penyebab :
Latar belakang kehidupan jiwa S ditandai oleh masa kecil yang kurang bahagia. Kejadian-kejadian yang impresif bagi S, bahkan dapat dikatakan bernilai traumatis, pertengkaran-pertengkaran kakek dan neneknya, mengakibatkan rasa takut yang luar biasa. Sehingga, sampai saat ini pun S tidak suka pada keributan-keributan, pertengkaran-pertengkaran dan S tumbuh menjadi sangat perasa serta menyukai situasi yang tenang. Nenek yang menjadi figur substitusi dan figur ibu adalah seorang yang dominan dan dalam suasana pertengkaran dengan suaminya, nenek menarik S untuk memihak pada dirinya dan menjauhkan S dari kakek. lklim relasi tersebut, memungkinkan S justru mengambil figur nenek sebagai pemegang peranan dalam proses identifikasinya.
Demikian pula sekembalinya S ke rumah orang tuanya sendiri. Ketika umur 6 tahun, S menjumpai pola relasi orang tuanya yang juga tidak sehat. Ibu keras, dominan, sering menyalahkan ayah dimuka anak-anaknya. Ayah yang lamban, serta agak lemah akhirnya menciptakan sikap S terhadap ayah yang. Relasi dengan ayah menjadi tidak memuaskan bagi S, situasi relasi antara ayah dan ibunya ini memungkinkan tokoh identifikasi terdahulu (nenek) beralih pada ibu.
Pengalaman demi pengalaman di atas membawa S pada situasi yang kurang menguntungkan bagi perkembangan gender identity-nya. Penampilan yang halus dan penurut mengundang kakak pertama S untuk mengajak S onani bersama, bahkan mengadakan hubungan oral seksual.
Pengalaman ini ditambah dengan pengalaman homoseksual baik di Semarang maupun di Bandung yang menjadi faktor penguat bagi terbinanya tingkah laku homoseksual. Tetapi, S belum mencapai homoseksual adjusment yang optimal karena tampak bahwa konflik-konflik neurotis masih menyentai S.
Dapat disimpulkan bahwa S mengalami gangguan dalam perkembangan gender identity, tetapi karena gangguan tersebut belum S sadari sepenuhnya, maka masih ada usaha-usaha S untuk melawan kondisi ini dengan mencoba berpacaran dengan wanita. Ia mencoba mengadakan relasi heteroseksual dengan wanita tuna susila.
Kenyataan akan kegagalan datam usaha tensebut tidak membantu S untuk menerima keadaan dirinya dengan sepenuh hati, tetapi justru merupakan salah satu keadaan yang menambah ketegangan mentalnya. Keluhan-keluhan psikis, seperti ganguan konsentrasi, menurunnya gairah belajar, keraguan dan rasa tidak bahagia merupakan menifestasi dari ketegangan mentalnya. Kalau melihat derajat ekstrimitas tingkah laku homoseksualnya, S kiranya dapat dikelompokkan dalam kategori homoseksual eksklusif dengan tipe pasif. Walaupun penampilan fisik umum S tampak tinggi besar, tetapi apabila kita amati dengan cermat ciri-ciri efiminasi akan tampak.
Penyelesaian :
Untuk lebih menyelesaikan masalah dan beban yang ditanggung oleh S, maka dia perlu memeriksakan diri ke psikolog. Hal ini akan sangat membantunya.
Walaupun pendekatan psikoanalitis terhadap masalah homoseksual banyak mengungkapkan penyebab berkembangnya tingkah laku homoseksual, tetapi Freud sendiri berpendapat bahwa harapan untuk menyembuhkan homoseksual dengan psikoanalisa sedikit sekali. Kalaupun psikoanalisa melakukan usaha penyembuhan, maka hasilnya akan terbatas pada pencapaian self acceptance dan penyesuaian sosial yang lebih baik (better social adjustment).
Apabila seorang homoseksual merasa tidak bahagia, neurotis dan terganggu oleh konflik, terhambat dalam kehidupan sosialnya, maka psikoanalisa akan membawa mereka ke dalam kehidupan psikis yang lebih harmonis, tenang dan efisiensi fungsional yang optimal. Freud percaya bahwa keinginan homoseksual untuk perubahan tidak berdasar pada keinginannya sendiri (self motivation), tetapi hanya sebagai akibat dari situasi tekanan sosial (external motivation) seperti tradisi-tradisi yang mengancam pilihan obyek seksual mereka.
Dr. Peter Scott, seorang psikiater yang sangat luas pengalamannya dalam memperlajari dan menangani homoseksual berpendapat: “From the very extensive literature and 10 years experince of treating and watching the result of others I have to agree that there is no evidence that the direction of intensely homosexual drive can be successfully altered”.
Jadi dalam hal ini, psikolog atau psikiater yang menangani penderita homoseksual hendaknya lebih memusatkan perhatiannya serta lebih bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan serta ketenangan kehidupan perasaan mereka, daripada berharap bahwa hasil penanganan akan merubah homoseksual menjadi heteroseksual.
Prognosa yang cukup baik hanya dapat ditentukan untuk kasus-kasus biseksual dengan kondisi sebagai berikut:
1.      Psikoanalisa mulai dari usia dibawah 35 tahun dan hasrat merubah diri untuk menjadi heteroseksual eksklusif sangat besar.
2.      Pernah mencoba dan berhasil dalam hubungan heteroseksual
3.      Hubungan emosional dengan ayah memuaskan mereka.
4.      Mereka yang tidak memiliki ikatan emosional yang abnormal dengan ibu.
5.      Mereka yang tidak mengalami perkembangan efiminasi baik dalam suara maupun dalam penampilan (gasture) pada saat mereka berada dalam masa kanak-kanak.
Terapist yang terlampau optimis akan kemampuannya untuk merubah sikap homoseksual menjadi heteroseksual akan berpengaruh terhadap antusiasme penderita. Keadaan ini akan sangat berbahaya, karena apabila dalam kenyataannya penderita mengalami kesulitan dalam proses perubahan itu, maka kemungkinan penderita akan jatuh dalam suasana depresif yang dalam atau mungkin sampai bunuh diri. Bahkan, bukan tidak mungkin penderita akan menjadi psikosis.
Patut diingat pula bahwa anjuran yang terlampau gegabah bagi homoseksual untuk menikah dalam usaha mengatasi kesulitannya adalah sangat tidak tepat dan tidak bijaksana. Pengalaman yang tidak menyenangkan dan pahit dari ikatan perkawinan yang tidak memuaskan akan mempengaruhi kehidupan perasaan penderita selama hidupnya.
Dalam hal ini, kekecualian bisa saja terjadi, yaitu apabila dasar (motivasi) perkawinan tidak untuk menyembuhkan dan kesulitan homoseksual, tetapi justru dengan perkawinan mereka mengharap mendapatkan pasangan hanya sebagai ikatan persaudaraan (comradeship). Biasanya, umur istri jauh lebih tua dan dalam perkawinannya wanita ini hanya ingin menyalurkan naluri kewanitaannya saja.
Bagaimana halnya dengan kasus S tersebut di atas?
Diagnosa penulis berdasar pada pendekatan psikoanalitis menggolongkan S dalam kategori “homoseksual eksklusif dengan tipe pasif”. Kategori ini adalah jenis kategori inversi seksual yang sangat mendalam, sehingga harapan untuk dapat merubahnya menjadi heteroseksual eksklusif sangat tipis. Alasannya adalah sebagai berikut:
1.    Ikatan emosional S dengan tokoh ayah (kakek/ayah) kurang memuaskan bahkan dapat dikatakan negatif.
2.    Ikatan emosional S dengan tokoh ibu (nenek/ibu) erat sekali, bahkan cenderung untuk dapat dikatakan abnormal. Tampak dominasi yang ekstrim daripada nenek/ibu terhadap kehidupan S.
3.    Usaha S dalam mencoba memaksakan diri untuk menggalang relasi heteroseksual yang intim, gagal.
4.    Tampak efiminasi daripada penampilan (gasture).
5.    Faktor-faktor penguat respon homoseksual telah berlangsung secara berlarut-larut. Faktor penguat ini telah berpengaruh terhadap perkembangan tingkah laku homoseksual pada S, yaitu pengalaman-pengalaman homoseksualitas yang sangat mengesankan S yang telah terjadi sejak S berumur kira-kira 12 tahun dengan kakaknya yang pertama dan pengalaman-pengalaman selanjutnya.
Atas dasar kelima hal tersebut di atas, maka dapat dikatakan tujuan treatment terhadap S adalah membantu S untuk mencapai taraf social adjusment yang lebih baik. Tujuan ini akan tercapai apabila S dapat menerima kenyataan dirinya dengan baik (self acceptance). Security feelings (rasa diri aman) pada S merupakan hasil yang akan S hayati apabila tujuan di atas sudah tercapai dan rasa diri aman merupakan modal utama untuk dapat mencapai efisiensi S dalam segala lapangan hidupnya antara lain dalam studinya









DAFTAR PUSTAKA

Saepudin, Epung dan Muhammad Fasabeni. 2009. Malnutrisi (Kekurangan Gizi) pada Anak. (Online). ( www.kompas.com. Diakses tanggal 28 April 2009. Pukul 15.30 WITA)

Fitri. Tanpa tahun. Kasus Acoraphobia/Takut pada Ketinggian. (Online) (www.blogduniapsikologi.dadigdug.com. Diakes tanggal 8 Mei 2009. Pukul 15.30 WITA)

Sadarjoen, Sawitri Supardi. Tanpa tahun. Homoseksualitas, Kasus Seorang Mahasiswa Teknik Sipil. (Online). (digilib.umm.ac.id. Diakses tanggal 28 April 2009. Diakes tanggal 3 Mei 2009. Pukul 15.30 WITA)